Kusuf dan Khusuf (gerhana matahari dan bulan)
merupakan suatu peristiwa alam yang telah dikenal oleh manusia sejak dahulu.
Peristiwa ini menjadi perhatian manusia. Mereka menghubungkan kejadian ini
dengan kepercayaan yang berbeda-beda. Di antaranya mengatakan bahwa gerhana itu
merupakan pertanda akan datangnya bencana dan malapetaka. Tetapi ada juga yang
mengatakan sebaliknya.
Di Indonesia hampir tiap daerah menyebut peristiwa ini
dengan berbagai macam nama yang diikuti dengan berbagai macam legenda pula.
Misalnya di Jawa Barat, orang menyebut gerhana itu
dengan nama “Samagaha”. Apabila “Samagaha” ini terjadi, penduduk akan
membunyikan sesuatu dengan cara memukulkan benda apa saja yang ditemuinya. Maksudnya
ialah agar bulan dan matahari yang akan kawin itu segera mengurungkan
maksudnya, karena apabila hal itu terjadi maka bumi akan menjadi gelap gulita.
Di samping itu, dengan adanya suara atau bunyi-bunyian
tersebut akan menghilangkan pengaruh buruk. Misalnya pengaruh buruk terhadap
telur yang sedang dierami, telur itu akan menjadi busuk (sunda; kacingcalang).
Selain iu, wanita yang sedang hamil dilarang melihat gerhana atau keluar rumah,
bahkan harus bersembunyi di bawah tempat tidur. Karena menurut kepercayaan
mereka, apabila hal itu tidak dilakukan maka akan menyebabkan anak yang sedang
dikandungnya itu, apabila lahir mempunyai tubuh yang belang (sunda;hideung
sabeulah).
Di Jawa tengah dan Jawa Timur, orang menyebut gerhana itu dengan
nama “Grahono”, di mana raksasa yang bernama “Buta ijo” berusaha menelan bulan
dan matahari. Apabila terjadi gerhana, maka penduduk akan membunyikan “tundan”,
yaitu membunyikan kentongan secara bersahutan. Di samping itu, penduduk membawa
ember berisi air untuk melihat gerhana tersebut. Menurut kepercayaan mereka,
akan terlihat raksasa yang akan menelan bulan dan matahari tersebut.
Di Bali,
orang menyebut gerhana itu dengan nama “Kepayang”, di mana seorang raksasa yang
bernama “Kala Ratu” berusaha menelan matahari dan bulan. Apabila terjadi
“Kepayang”, maka penduduk akan memukul “antan” pada lesungnya sehingga
terjadilah bunyi-bunyian yang ramai. Bunyi-bunyian ini dimaksudkan untuk
mengusir raksasa itu yang berusaha menelan bulan dan matahari.
Di Makasar, orang menyebut gerhana bulan itu dengan nama “Bulan
Abunting”, yang berarti bulan kawin. Pada saat terjadi gerhana bulan, maka
penduduk akan membunyikan kentongan sebagai petanda kebahagian akan datang.
Dengan serta merta para pejaka dan perawan membuka pakaiannya, lalu keluar
rumah tanpa busana kemudian berdoa di halaman rumahnya masing-masing. Menurut
kepercayaan mereka, dengan melakukan semua ini akan cepat mendapat jodoh dan
akan menemui kebahagiaan. Akan tetapi pada saat gerhana matahari, mereka malah
akan lari masuk ke dalam rumah dan berlindung sambil memukul kentongan. Mereka
melakukan perbuatan seperti itu karena takut sebab sedang terjadi “Sinkanrei
Mata Alloa” (matahari sedang baku hantam)
Gerhana
Bulan
Sedangkan menurut kepercayaan dari sisa-sisa agama kultur, bulan
itu sebuah benda dari campuran perak, emas dan kuningan sehingga memancarkan
cahaya dingin ke bumi. Bulan itu ditarik oleh malaikat berbaju hitam.
Maka tersebutlah anak hantu yang menangis terus-menerus
menginginkan bulan yang indah itu. Ibu hantu sangat iba hatinya melihat anaknya
menangis. Maka terbanglah ibu hantu itu naik burung “Qarqar” untuk mengambil
bulan. Agar bulan itu tidak dilihat oleh ibu hantu, maka malaikat penjaga bulan
pun menyembunyikan bulan itu pada baju hitamnya, sehingga terjadilah gerhana
bulan. Ketika ibu hantu itu telah pergi, maka bulan itu dilepaskan kembali.
Kemudian malaikat penjaga menghembuskan angin sepoi-sepoi. Anak itu pun
berhenti menangis karena telah lupa pada bulan yang diinginkannya.
Gerhana
Matahari
Matahari itu ditarik oleh malaikat
berbaju putih sambil berdiri di atas seekor anak sapi. Hantu jahat yang tidak
menyukai sinar terang benderang itu mencoba untuk merebut matahari itu.. Malaikat
berbaju putih pun langsung menenggelamkan matahari di lautan abadi. Lalu hantu
jahat itu menjelma menjadi ikan bahut dan menelan matahari itu sehingga menjadi
gelap. Maka terjadilah gerhana matahari. Kemudian malaikat berbaju putih itu
mengejar ikan bahut itu dan matahari pun dilepaskannya.
Aqidah seperti itu dinamakan tahayyul
dan khurafat, dan upacaranya dinamakan bid’ah. Dikatakan seperti itu, karena
kepercayaan dan tatacara seperti itu hanya merupakan produk pemikiran manusia,
hasil akal bukan berdasarkan wahyu.
Berbeda dengan orang-orang muslim yang
memiliki kepercayaan bahwa kusuf dan khusuf itu merupakan salah satu tanda dari
kekusaaan Allah. Terjadinya peristiwa itu karena peredaran matahari dan bulan
yang telah diatur sedemikian rupa, untuk memperingatkan manusia agar hidup
teratur, tunduk pada aturan dan ketentuan. Selain itu diperintahkan untuk bertakbir, salat, berkhutbah,
berdoa dan bershadaqah. Kepercayaan seperti ini dinamakan iman dan pelaksanaan
ibadahnya dinamakan sunnah .
Garis pemisah antara tahayyul dan bukan tahayul, antara
bid’ah dan sunnah nabi, bukanlah akal bukan pula produksi pemikiran, tetapi
berdasarkan wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya.
Di jaman Rasulullah saw. pernah terjadi gerhana satu kali,
yaitu ketika di Madinah. Tepatnya tanggal 29 syawal 10 H. sama dengan 27
Januari 632 M. jam 8.30 Adapun yang dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika
gernaha tiba adalah sebagai berikut:
Mengajak
Kaum Muslimin Untuk Salat ke Mesjid
ِإنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ ص
أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ إِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ
اللهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ. رواه البخاري
Bahwa Aisah isteri Nabi saw. mengabarkan bahwa Rasulullah
saw. bersabda,’ Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan salah satu tanda
kekuasaan Allah, terjadiص nya gerhana bulan
atau matahari bukan karena matinya seseorang atau hidup (lahirnya) seseorang,
apabila kamu melihatnya maka pergilah menuju salat (mesjid)”. H.r. Al-Bukhari
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ:
لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ص نُودِيَ إِنَّ الصَّلاَةَ
جَامِعَةٌ
Dari Abdullah bin Amer, ia berkata,”Ketika terjadi gerhana
matahari pada jaman Rasulullah saw. dikumandangkan “Innassholata jaami’atun”
(Marilah salat berjamaah)”. H.r Al-Bukhari
Adapun keterangan bahwa shalat gerhana boleh juga dilaksanakan di lapangan
hadisnya tidak shahih dan tidak boleh diamalkan. Perhatikanlah keterangannya
sebagai berikut
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ خَسَفَتِ
الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ص فَأَتَى الْمُصَلَّى فَكَبَّرَ
وَكَبَّرَ النَّاسُ. رواه أحمد
Dari Aisah, ia berkata,”Terjadi gerhana
matahari di jaman Nabi saw. Kemudian beliau mendatangi Musholla (lapangan)
terus takbir dan para sahabat pun takbir...”. H.r Ahmad
- Pada sanad hadis ini ada rawi bernama Sulaiman
bin Katsir Al-Abdi, ia menerima hadis ini dari Az-Zuhri. Kata Imam
An-Nasai, jika Sulaiman bin Katsir menerima hadis dari Az-Zuhri terjadi
kesalahan. (Lihat
Tahdzibul Kamal, XII:58) Oleh karena itu, hadis ini tidak boleh diamalkan.
Kaifiyah
Salat Gerhana
Shalat gerhana adalah shalat denghan empat kali ruku, empat kali sujud dan
empat kali emmbaca Al-fatihah dan surat. Al-Fatihah dan suratnya dibaca dengan
jahar/keras sebagaimana hadis di bawah ini:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيًَّ
ص جَهَرَ فِي صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ
فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ. رواه مسلم
Dari Aisah,”Bahwasanya Nabi saw. menjaharkan bacaannya pada
salat khusuf, lalu beliau salat empat kali ruku pada dua rakaat dan empat kali
sujud”. H.r. Muslim
Adapun yang menerangkan bacaan dalam shalat gerhana boleh juga dibaca
sirr/pelan tidak boleh diamalkan karena dhaif, perhatikan keterangan di bawah
ini:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ
صَلَّى بِنَا النَّبِيُّ ص فِي كُسُوفٍ لاَ نَسْمَعُ لَهُ صَوْتًا. رواه الخمسة
Dari Samurah bin Jundab, ia berkata,”Nabi saw. salat
mengimami kami pada waktu gerhana. Kami tidak mendengar suara beliau (membaca
Alquran)”. H.r. Al-Khamsah
- Hadis
ini tidak boleh diamalkan karena terdapat rawi yang majhul (nama tanpa
identitas), yaitu Tsa’labah bin ‘Abbad Al-Abdiy (lihal Nailul Authar
IV:20) Demikian komentar dari Ibnu Hazm dan Ibnu Al-Madini.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قُمْتُ
إِلَى جَنْبِ النَّبِيِّ ص فِي صَلاَةِ خُسُوفِ الشَّمْسِ فَمَا سَمِعْتُ مِنْهَ
حَرْفًا
Dari Ibnu Abbas, ia berkata,’Aku berdiri di samping Nabi
saw. pada waktu salat khusuf. Lalu aku tidak mendengar beliau membaca satu
hurup pun”. H.r. Asy-Syafi’i, Abu Ya’la dan Al-Baihaqi
- Hadis
ini juga tidak boleh diamalkan karena terdapat rowi bernama Ibnu Lahi’ah
Keterangan: Ada sebagian ulama yang menyatakan
kedua hadis di atas sahih, seperi Imam Asy-Syafi’i, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban
dan Al-Hakim. Jika hadis itu dianggap sahih, maka tetap saja hadis Aisah lebih
sahih dan lebih bisa diterima karena tidak ada cacat sama sekali. Demikianlah
Imam Al-Bukhari mengatakan. (Nailul Authar, IV:21)
Khutbah
Gerhana
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: خَسَفَتِ
الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ
e فَصَلَّى
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ! رَأَيْنَاكَ تَنَاوَلْتَ شَيْئًا فِي مَقَامِكَ ثُمَّ
رَأَيْنَاكَ تَكَعْكَعْتَ؟ قَالَ: إِنِّي أُرِيتُ الْجَنَّةَ فَتَنَاوَلْتُ
مِنْهَا عُنْقُودًا وَلَوْ أَخَذْتُهُ َلأَكَلْتُمْ مِنْهُ مَا بَقِيَتِ
الدُّنْيَا. رواه البخاري
Dari Ibnu Abbas, ia berkata,”Terjadi gerhana di jaman
Rasulullah saw. kemudian beliau salat. Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah! Kami
melihat engkau meraih sesuatu di tempat (khutbah)-mu kemudian kami melihat
engkau tertahan (seperti takut)? Beliau menajwab,’Sesungguhnya diperlihatkan
kepadaku surga, lalu aku meraih segenggam anggur, jikalau aku mengambilnya lalu
kamu memakan anggur itu maka dunia itu tidak akan tersisa”. H.r. Al-Bukhari
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ خَسَفَتِ
الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ص فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ ص بِالنَّاسِ
فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ قَامَ
فَأَطَالَ الْقِيَامَ وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ اْلأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ
الرُّكُوعَ وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ اْلأَوَّلِ ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ
ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي اْلأُولَى ثُمَّ
انْصَرَفَ وَقَدِ انْجَلَتِ الشَّمْسُ. فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللهَ
وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ
آيَاتِ اللهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا
رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا. ثُمَّ
قَالَ: ...يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ
لَضَحِكْتُمْ قَلِيلاً وَلبَكَيْتُمْ كَثِيرًا. متفق عليه
Dari Aisah, ia berkata,”Telah terjadi gerhana matahari di
jaman Rasulullah saw.. Kemudian Rasulullah saw. salat mengimami orang-orang.
Beliau berdiri dengan berdiri yang lama, kemudian ruku dengan ruku yang lama,
kemudian berdiri lagi dengan berdiri yang lama tidak selama berdiri yang
pertama, kemudian ruku dengan ruku yang lama tidak selama ruku yang pertama,
kemudian sujud dengan sujud yang lama, setelah itu beliau melakukannya lagi pada
rakaat yang kedua seperti yang beliau lakukan pada rakaat yang pertama.
Kemudian beliau selesai salat ketika itu matahari sudah terang. Lalu berkhutbah
kepada orang-orang, beliau bertahmid kepada Allah dan menyanjungnya seraya
bersabda, ’Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan salah satu tanda kekuasaan
Allah, terjadinya gerhana bulan atau matahari bukan karena matinya seseorang
atau hidup (lahirnya) seseorang, apabila kamu melihatnya maka berdoalah kepada
Allah, bertakbirlah, salatlah dan dan bershadaqahlah. Kemudian beliau
bersabda,’…Hai umat Muhammad, demi Allah, Jikalau kamu mengetahui (semua) apa
yang aku ketahui, pasti kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis’.
Muttafaq ‘Alaih
Anjuran
Shadaqah, Istighfar dan Dzikir pada Waktu Gerhana
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ: وَلَقَدْ
أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ ص بِالْعَتَاقَةِ فِي صَلاَةِ كُسُوفِ الشَّمْسِ.
رواه أحمد والبخاري
Dari Asma, ia berkata,”Sungguh Rasulullah saw. memerintah
kami untuk memerdekakan hamba sahaya pada waktu salat gerhana matahari”. H.r.
Ahmad dan Al-Bukhari
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ: خَسَفَتِ
الشَّمْسُ فَقَامَ النَّبِيُّ ص فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ فَأَتَى
الْمَسْجِدَ فَصَلَّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ رَأَيْتُهُ قَطُّ
يَفْعَلُهُ وَقَالَ هَذِهِ اْلآيَاتُ الَّتِي يُرْسِلُ اللهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ
أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنْ { يُخَوِّفُ اللهُ بِهِ عِبَادَهُ } فَإِذَا
رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ
وَاسْتِغْفَارِهِ. رواه البخاري
Dari Abu Musa, ia berkata,”Telah terjadi gerhana matahari,
lalu Nabi saw. berdiri sambil terkejut, beliau takut kalau terjadi kiamat.
Kemudian beliau mendatangi mesjid lalu salat dengan berdiri, ruku dan sujud
yang sangat lama. Aku tidak pernah melihat beliau melakukannya sebelumnya.
Seraya bersabda,’Ini adalah ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan-Nya) yang
ditunjukkan Allah, ayat ini bukan karena matinya seseorang dan bukan pula
karena lahirnya seseorang akan tetapi { Allah menakuti hamba-hamba dengannya }
- Az-Zumar:16 - Apabila kalian meihat sesuatu dari hal itu (menyaksikan
gerhana) maka segeralah dzikir, berdoa dan istighfar kepada Allah”. H.r.
Al-Bukhari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar