Kamis, 23 Mei 2013

GERHANA ANTARA BID'AH DAN SUNNAH, ANTARA TAHAYUL DAN IMAN


Kusuf dan Khusuf (gerhana matahari dan bulan) merupakan suatu peristiwa alam yang telah dikenal oleh manusia sejak dahulu. Peristiwa ini menjadi perhatian manusia. Mereka menghubungkan kejadian ini dengan kepercayaan yang berbeda-beda. Di antaranya mengatakan bahwa gerhana itu merupakan pertanda akan datangnya bencana dan malapetaka. Tetapi ada juga yang mengatakan sebaliknya.
Di Indonesia hampir tiap daerah menyebut peristiwa ini dengan berbagai macam nama yang diikuti dengan berbagai macam legenda pula.
Misalnya di Jawa Barat, orang menyebut gerhana itu dengan nama “Samagaha”. Apabila “Samagaha” ini terjadi, penduduk akan membunyikan sesuatu dengan cara memukulkan benda apa saja yang ditemuinya. Maksudnya ialah agar bulan dan matahari yang akan kawin itu segera mengurungkan maksudnya, karena apabila hal itu terjadi maka bumi akan menjadi gelap gulita.
Di samping itu, dengan adanya suara atau bunyi-bunyian tersebut akan menghilangkan pengaruh buruk. Misalnya pengaruh buruk terhadap telur yang sedang dierami, telur itu akan menjadi busuk (sunda; kacingcalang). Selain iu, wanita yang sedang hamil dilarang melihat gerhana atau keluar rumah, bahkan harus bersembunyi di bawah tempat tidur. Karena menurut kepercayaan mereka, apabila hal itu tidak dilakukan maka akan menyebabkan anak yang sedang dikandungnya itu, apabila lahir mempunyai tubuh yang belang (sunda;hideung sabeulah).
Di Jawa tengah dan Jawa Timur, orang menyebut gerhana itu dengan nama “Grahono”, di mana raksasa yang bernama “Buta ijo” berusaha menelan bulan dan matahari. Apabila terjadi gerhana, maka penduduk akan membunyikan “tundan”, yaitu membunyikan kentongan secara bersahutan. Di samping itu, penduduk membawa ember berisi air untuk melihat gerhana tersebut. Menurut kepercayaan mereka, akan terlihat raksasa yang akan menelan bulan dan matahari tersebut.
Di Bali, orang menyebut gerhana itu dengan nama “Kepayang”, di mana seorang raksasa yang bernama “Kala Ratu” berusaha menelan matahari dan bulan. Apabila terjadi “Kepayang”, maka penduduk akan memukul “antan” pada lesungnya sehingga terjadilah bunyi-bunyian yang ramai. Bunyi-bunyian ini dimaksudkan untuk mengusir raksasa itu yang berusaha menelan bulan dan matahari.
Di Makasar, orang menyebut gerhana bulan itu dengan nama “Bulan Abunting”, yang berarti bulan kawin. Pada saat terjadi gerhana bulan, maka penduduk akan membunyikan kentongan sebagai petanda kebahagian akan datang. Dengan serta merta para pejaka dan perawan membuka pakaiannya, lalu keluar rumah tanpa busana kemudian berdoa di halaman rumahnya masing-masing. Menurut kepercayaan mereka, dengan melakukan semua ini akan cepat mendapat jodoh dan akan menemui kebahagiaan. Akan tetapi pada saat gerhana matahari, mereka malah akan lari masuk ke dalam rumah dan berlindung sambil memukul kentongan. Mereka melakukan perbuatan seperti itu karena takut sebab sedang terjadi “Sinkanrei Mata Alloa” (matahari sedang baku hantam)
                                                         

Gerhana Bulan
Sedangkan menurut kepercayaan dari sisa-sisa agama kultur, bulan itu sebuah benda dari campuran perak, emas dan kuningan sehingga memancarkan cahaya dingin ke bumi. Bulan itu ditarik oleh malaikat berbaju hitam.
Maka tersebutlah anak hantu yang menangis terus-menerus menginginkan bulan yang indah itu. Ibu hantu sangat iba hatinya melihat anaknya menangis. Maka terbanglah ibu hantu itu naik burung “Qarqar” untuk mengambil bulan. Agar bulan itu tidak dilihat oleh ibu hantu, maka malaikat penjaga bulan pun menyembunyikan bulan itu pada baju hitamnya, sehingga terjadilah gerhana bulan. Ketika ibu hantu itu telah pergi, maka bulan itu dilepaskan kembali. Kemudian malaikat penjaga menghembuskan angin sepoi-sepoi. Anak itu pun berhenti menangis karena telah lupa pada bulan yang diinginkannya.
Gerhana Matahari
            Matahari itu ditarik oleh malaikat berbaju putih sambil berdiri di atas seekor anak sapi. Hantu jahat yang tidak menyukai sinar terang benderang itu mencoba untuk merebut matahari itu.. Malaikat berbaju putih pun langsung menenggelamkan matahari di lautan abadi. Lalu hantu jahat itu menjelma menjadi ikan bahut dan menelan matahari itu sehingga menjadi gelap. Maka terjadilah gerhana matahari. Kemudian malaikat berbaju putih itu mengejar ikan bahut itu dan matahari pun dilepaskannya.
Aqidah seperti itu dinamakan tahayyul dan khurafat, dan upacaranya dinamakan bid’ah. Dikatakan seperti itu, karena kepercayaan dan tatacara seperti itu hanya merupakan produk pemikiran manusia, hasil akal bukan berdasarkan wahyu.
Berbeda dengan orang-orang muslim yang memiliki kepercayaan bahwa kusuf dan khusuf itu merupakan salah satu tanda dari kekusaaan Allah. Terjadinya peristiwa itu karena peredaran matahari dan bulan yang telah diatur sedemikian rupa, untuk memperingatkan manusia agar hidup teratur, tunduk pada aturan dan ketentuan. Selain itu diperintahkan untuk bertakbir, salat, berkhutbah, berdoa dan bershadaqah. Kepercayaan seperti ini dinamakan iman dan pelaksanaan ibadahnya dinamakan sunnah .
Garis pemisah antara tahayyul dan bukan tahayul, antara bid’ah dan sunnah nabi, bukanlah akal bukan pula produksi pemikiran, tetapi berdasarkan wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya.
Di jaman Rasulullah saw. pernah terjadi gerhana satu kali, yaitu ketika di Madinah. Tepatnya tanggal 29 syawal 10 H. sama dengan 27 Januari 632 M. jam 8.30 Adapun yang dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika gernaha tiba adalah sebagai berikut:
Mengajak Kaum Muslimin Untuk Salat ke Mesjid
ِإنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ ص أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ  قَالَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ إِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ. رواه البخاري
Bahwa Aisah isteri Nabi saw. mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,’ Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah, terjadiص nya gerhana bulan atau matahari bukan karena matinya seseorang atau hidup (lahirnya) seseorang, apabila kamu melihatnya maka pergilah menuju salat (mesjid)”. H.r. Al-Bukhari
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ص نُودِيَ إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ 
Dari Abdullah bin Amer, ia berkata,”Ketika terjadi gerhana matahari pada jaman Rasulullah saw. dikumandangkan “Innassholata jaami’atun” (Marilah salat berjamaah)”. H.r Al-Bukhari
            Adapun keterangan bahwa shalat gerhana boleh juga dilaksanakan di lapangan hadisnya tidak shahih dan tidak boleh diamalkan. Perhatikanlah keterangannya sebagai berikut
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ خَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ  ص فَأَتَى الْمُصَلَّى فَكَبَّرَ وَكَبَّرَ النَّاسُ. رواه أحمد
Dari Aisah, ia berkata,”Terjadi gerhana matahari di jaman Nabi saw. Kemudian beliau mendatangi Musholla (lapangan) terus takbir dan para sahabat pun takbir...”. H.r Ahmad
  • Pada sanad hadis ini  ada rawi bernama Sulaiman bin Katsir Al-Abdi, ia menerima hadis ini dari Az-Zuhri. Kata Imam An-Nasai, jika Sulaiman bin Katsir menerima hadis dari Az-Zuhri terjadi kesalahan. (Lihat Tahdzibul Kamal, XII:58) Oleh karena itu, hadis ini tidak boleh diamalkan.
Kaifiyah Salat Gerhana  
            Shalat gerhana adalah shalat denghan empat kali ruku, empat kali sujud dan empat kali emmbaca Al-fatihah dan surat. Al-Fatihah dan suratnya dibaca dengan jahar/keras sebagaimana hadis di bawah ini:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيًَّ ص  جَهَرَ فِي صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ. رواه مسلم
Dari Aisah,”Bahwasanya Nabi saw. menjaharkan bacaannya pada salat khusuf, lalu beliau salat empat kali ruku pada dua rakaat dan empat kali sujud”. H.r. Muslim
            Adapun yang menerangkan bacaan dalam shalat gerhana boleh juga dibaca sirr/pelan tidak boleh diamalkan karena dhaif, perhatikan keterangan di bawah ini:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ صَلَّى بِنَا النَّبِيُّ ص فِي كُسُوفٍ لاَ نَسْمَعُ لَهُ صَوْتًا. رواه الخمسة
Dari Samurah bin Jundab, ia berkata,”Nabi saw. salat mengimami kami pada waktu gerhana. Kami tidak mendengar suara beliau (membaca Alquran)”. H.r. Al-Khamsah
  • Hadis ini tidak boleh diamalkan karena terdapat rawi yang majhul (nama tanpa identitas), yaitu Tsa’labah bin ‘Abbad Al-Abdiy (lihal Nailul Authar IV:20) Demikian komentar dari Ibnu Hazm dan Ibnu Al-Madini.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قُمْتُ إِلَى جَنْبِ النَّبِيِّ ص فِي صَلاَةِ خُسُوفِ الشَّمْسِ فَمَا سَمِعْتُ مِنْهَ حَرْفًا
Dari Ibnu Abbas, ia berkata,’Aku berdiri di samping Nabi saw. pada waktu salat khusuf. Lalu aku tidak mendengar beliau membaca satu hurup pun”. H.r. Asy-Syafi’i, Abu Ya’la dan Al-Baihaqi
  • Hadis ini juga tidak boleh diamalkan karena terdapat rowi bernama Ibnu Lahi’ah
Keterangan: Ada sebagian ulama yang menyatakan kedua hadis di atas sahih, seperi Imam Asy-Syafi’i, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Jika hadis itu dianggap sahih, maka tetap saja hadis Aisah lebih sahih dan lebih bisa diterima karena tidak ada cacat sama sekali. Demikianlah Imam Al-Bukhari mengatakan. (Nailul Authar, IV:21)
 Khutbah Gerhana
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: خَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ e فَصَلَّى قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ! رَأَيْنَاكَ تَنَاوَلْتَ شَيْئًا فِي مَقَامِكَ ثُمَّ رَأَيْنَاكَ تَكَعْكَعْتَ؟ قَالَ: إِنِّي أُرِيتُ الْجَنَّةَ فَتَنَاوَلْتُ مِنْهَا عُنْقُودًا وَلَوْ أَخَذْتُهُ َلأَكَلْتُمْ مِنْهُ مَا بَقِيَتِ الدُّنْيَا. رواه البخاري
Dari Ibnu Abbas, ia berkata,”Terjadi gerhana di jaman Rasulullah saw. kemudian beliau salat. Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah! Kami melihat engkau meraih sesuatu di tempat (khutbah)-mu kemudian kami melihat engkau tertahan (seperti takut)? Beliau menajwab,’Sesungguhnya diperlihatkan kepadaku surga, lalu aku meraih segenggam anggur, jikalau aku mengambilnya lalu kamu memakan anggur itu maka dunia itu tidak akan tersisa”. H.r. Al-Bukhari
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ص فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ ص بِالنَّاسِ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ قَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ اْلأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ اْلأَوَّلِ ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي اْلأُولَى ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدِ انْجَلَتِ الشَّمْسُ. فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا. ثُمَّ قَالَ: ...يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلاً وَلبَكَيْتُمْ كَثِيرًا. متفق عليه
Dari Aisah, ia berkata,”Telah terjadi gerhana matahari di jaman Rasulullah saw.. Kemudian Rasulullah saw. salat mengimami orang-orang. Beliau berdiri dengan berdiri yang lama, kemudian ruku dengan ruku yang lama, kemudian berdiri lagi dengan berdiri yang lama tidak selama berdiri yang pertama, kemudian ruku dengan ruku yang lama tidak selama ruku yang pertama, kemudian sujud dengan sujud yang lama, setelah itu beliau melakukannya lagi pada rakaat yang kedua seperti yang beliau lakukan pada rakaat yang pertama. Kemudian beliau selesai salat ketika itu matahari sudah terang. Lalu berkhutbah kepada orang-orang, beliau bertahmid kepada Allah dan menyanjungnya seraya bersabda, ’Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah, terjadinya gerhana bulan atau matahari bukan karena matinya seseorang atau hidup (lahirnya) seseorang, apabila kamu melihatnya maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, salatlah dan dan bershadaqahlah. Kemudian beliau bersabda,’…Hai umat Muhammad, demi Allah, Jikalau kamu mengetahui (semua) apa yang aku ketahui, pasti kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis’. Muttafaq ‘Alaih
Anjuran Shadaqah, Istighfar dan Dzikir pada Waktu Gerhana
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ: وَلَقَدْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ  ص بِالْعَتَاقَةِ فِي صَلاَةِ كُسُوفِ الشَّمْسِ. رواه أحمد والبخاري
Dari Asma, ia berkata,”Sungguh Rasulullah saw. memerintah kami untuk memerdekakan hamba sahaya pada waktu salat gerhana matahari”. H.r. Ahmad dan Al-Bukhari
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ: خَسَفَتِ الشَّمْسُ فَقَامَ النَّبِيُّ ص فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ فَأَتَى الْمَسْجِدَ فَصَلَّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ رَأَيْتُهُ قَطُّ يَفْعَلُهُ وَقَالَ هَذِهِ اْلآيَاتُ الَّتِي يُرْسِلُ اللهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنْ { يُخَوِّفُ اللهُ بِهِ عِبَادَهُ } فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ. رواه البخاري
Dari Abu Musa, ia berkata,”Telah terjadi gerhana matahari, lalu Nabi saw. berdiri sambil terkejut, beliau takut kalau terjadi kiamat. Kemudian beliau mendatangi mesjid lalu salat dengan berdiri, ruku dan sujud yang sangat lama. Aku tidak pernah melihat beliau melakukannya sebelumnya. Seraya bersabda,’Ini adalah ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan-Nya) yang ditunjukkan Allah, ayat ini bukan karena matinya seseorang dan bukan pula karena lahirnya seseorang akan tetapi { Allah menakuti hamba-hamba dengannya } - Az-Zumar:16 - Apabila kalian meihat sesuatu dari hal itu (menyaksikan gerhana) maka segeralah dzikir, berdoa dan istighfar kepada Allah”. H.r. Al-Bukhari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar