KATAPENGANTAR
Alhamdulillahirobbilalamin,
puji penulis sampaikan kepada Dzat pemberi petunjuk, pencurah rahmat tempat
berlindung, dan tempat meminta pertolongan atas kehendak, inayah dan
pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang dibebankan
oleh dosen Ulum Al-Qur’an.
Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada dosen penulis yang
telah membimbing penulis dalam penulisan makalah ini. Dan pada sahabat-sahabat
dekat penulis yang memberikan bantuan kepada penulis dalam mencari referensi
dan selalu memotivasi penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa pada
keluarga penulis yang disadari atau tidak mereka tidak henti-hentinya
mendo’akan penulis dalam segala urusan.
Dalam penulisan makalah ini jelas banyak sekali godaan khususnya
rasa malas yang selalu menimpa diri penulis pribadi. Namun meski demikian,
penulis berusaha untuk melawan rasa malas itu dan mencoba bangkit untuk melakukan sesuatu yang
lebih bermanfaat daripada bermalas-malasan, dan mencoba menyelesaikan tugas
mkalah ini sampai selesai.
Penulis mengakui bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, banyak
kekurangan dan mungkin kesalahan yang ada dalam makalah ini tapi penulis
berharaf semoga makalah yang ringkas ini bermanfaat khususnya bagi para
mahasiswa dan pelajar umumnya. Akhirnya kritik dan saran yang membangun penulis
harafkan demi perbaikan ke depannya.
Penulis
DAFTARISI
KATA PENGANTAR1
DAFTAR ISI 2
BAB I :
PENDAHULUAN3
BAB II
: PEMBAHASAN4
A. Pengertian Tafsir,
Takwil dan Terjemah ................................................................4
1.
Tafsir4
2.
Takwil5
3.
Terjemah6
B. Persamaan dan Perbedaan Tafsir, Takwil dan Terjemah6
C. Otoritas Tafsir, Takwil dan Terjemah7
D. Sejarah Perkembangan Tafsir dan Takwil ..............................................................
8
1.
Sejarah
Perkembangan Tafsir
..................................................................... 8
2.
Sejarah
perkembangan Takwil
................................................................. 13
E. Sejarah Pertentangan antara Pendukung Tafsir dan Takwil
................................. 13
F. Sikap Para Ulama Terhadap Takwil
..................................................................... 15
G. Latar Belakang Terjadinya Perbedaan Produk Penafsiran ...................................
16
H. Al- Dakhil
.............................................................................................................
17
1.
Pengertian
.................................................................................................
17
2.
Macam-macam
al-Dakhil
......................................................................... 18
I.
Sejarah
dan Perkembangan al-Dakhil ..................................................................
21
J. Sikap Mufasir Terhadap al-Dakhil
....................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA 25
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu tema
dalam Ulum Al-Qur’an yang amat urgen bagi para da’i atau mubaligh para pelajar
dan mahasiswa muslim pada khususnya dalam menyampaikan risalah Allah swt adalah
kewajiban faham akan bahasa arab, yang merupakan satu alat yang mempunyai fungsi
untuk memahami apa yang terkandung atau
pesan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Kita tidak akan mampu memahami pesan yang
terkandung bahkan rahasia-rahasia yang terdapat dalam Al-Qur’an kalau kita
tidak mengerti bahasa arab.
Disamping itu,
kita harus bisa memahami akan kaidah-kaidah cara memahami bahasa arab tersebut
supaya orang yang membaca karya kita atau yang mendengarkan informasi yang kita
fahami dalam Al-Qur’an kita kita sampaikan mereka dapat dipahami oleh para
pembaca maupun para mustami’. Lebih jauhnya kalau kita memahami apa yang
terkandung dalam Al-Qur’an perlu ilmu yang berkaitan dengan permasalahan
tersebut, itu merupakan gambaran kecil mengenai beberapa masalah yang sedang
kita hadapi sekarang-sekarang ini. Al-Qur’an adalah mukjizat Allah yang amat
besar yang diberikan kepada rosul-Nya yang mempunyai kandungan, pesan, bahkan
rahasia-rahasia yang tersirat yang hanya dapat difahami kalau kita tahu akan
ilmunya.
Pemahaman
seseorang dalam memahami jelas tidak sama meskipun mungkin mereka sama-sama hafal
Al-qur’an, hafal berbagai hadits dan kaidah-kaidah ushul fiqih dan bahasa.
Apalagi kalau temanya mengenai penafsiran dan penakwilan, disitu akan jelas
kelihatan mana yang masih dalam keadaan umi
dan mana orang yang sudah bisa mencapai dzakiyang
sudah faham dan mengerti kandungan dan rahasia-rahasia Al-Qur’an. Oleh karenanya penulis khususnya merasa amat
penting mengetengahkan tema mengenai Tafsir, Ta’wil dan Terjemah beserta
otoritasnya agar kita bisa memahami dan tau sedikit banyaknya mengenai isi dan
rahasia-rahasia yang terkandung didalamnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian Tafsir, Takwil dan Terjemah
1. Tafsir
Kata tafsir
diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran
yang berarti keterangan atau uraian. Al-jurjani berpendapat bahwa kata tafsir
secara etimologi adalah Al-kasf wal
Al-izhhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.[1]
Pada dasarnya, pengertian tafsir berdasarkan bahasa tidak akan lepas dari
kandungan makna Al-idhah (menjelaskan), Al-bayan (menerangkan), Al-kasf
(mengungkapkan), Al-izhar (menampakkan), dan Al-ibanah (menjelaskan).[2]
Secara Terminologi Menurut al-Kilabi dalam
At-Tashil, tafsir adalah menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan
menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nashnya,
atau dengan isyaratnya atau dengan
tujuannya.
Menurut Syeh Al-Jazairi dalam shohib
At-Taujih, tafsir pada hakikatnya adalah dijelaaskan lapadz yang sukar difahami
oleh pendengar, dengan mengemukakan lapadz sinonimnya atau makna yang
mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lapadz tersebut.
Menurut Az-Zarkasyi dalam Mabahis Fi Ulumil
Qur’an, tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan
makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya, Muhammad saw serta
menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.[3]
Dalam buku Ilmu-Ilmu Al-Qur’an yang dikarang
oleh M.Hasbie As-Syidieqie dikatakan
bahwa yang disebut dengan tafsir adalah:
Artinya suatu ilmu yang didalalamnya
dibahaskan tentang Al-Qur’anul Karim
dari segi dalalahnya kepada yang
dikehendaki Allah sekedar yang dapat disanggupi manusia.
Ada yang mendevinisakan ilmu tafsir dengan:
Artinya: suatu ilmu yang dibahsakan
didalamnya tentang keadaan-keadaan Al-Qur’an dan segi turunnya, segi sanadnya,
segi cara menyebutnya, segi lapadznya
dan dan segi makna-maknanya yang berpautan dengan lapadz dan hukum[4].
2. Takwil
Secara etimologi takwil adalah menerangkan,
menjelaskan, diambil dari kata awaala yuawwilu ta’wilan. Al-Qathan dan Al-Jurjani berpendapat bahwa arti takwil
menururt etimologi adalah arruju ila
ashli, yang mengandung arti kembali kepada pokoknya. Sedangkan ari
bahasanya menurut Al-Jarqoni sama dengan arti tafsir.[5]
Adapun takwil secara etimologi dalam hal
ini banyak para alim memberikan pendapatnya, antara lain:
MenurutAl-Zurjani:
Artinya: memalingkan suatu lapadz dari
makna lahirnya terhadap makna yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang
dipandangnya sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.
Menurut definisi lain:
Artinya: takwil adalah mngembalikan sesuatu
pada tujuannya. Yakni menerangakan apa yang telah dimaksud.
Menurut ulama salaf takwil sama dengan
tafsir ialah menafsirkan dan menjelaskan makna suatu ungkapan baik bersesuai
dengan makna lahirnya ataupun bertentangan.
Sedangkan menurut para ulama khalaf takwil
adalah mengalihkan suatu lapadz dari maknanya yang rojih pada makna yang marjuh
karena ada indikasi untuk itu.
Ringkasnya pengertian takwil dalam
penggunaaan istilah adalah suatu usaha untuk memahami lapadz-lapadz atau ayat-ayat Al-Qur’an melalui pendekatan memahami
arti atau maksud sebagai kandungan dalam maksud itu. Dengan kata lain, takwil
berarti mengartikan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan mana
lahiriahnya, bahkan penggunaan secara mahsyur diidentikan dengan tafsir[6].
3. Terjemah
Arti terjemah menurut bahasa adalah salinan
dari suatu bahasa kebahasa lain atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat
dari suatu bahasa kebahasa lain.[7]
Menurut muhammad husayn al-Dzahabi, salah seorang pakar dan ahli ilmu al-Qur’an
dari Universitas Azhar, Kairo, Mesir, kata tarjamah lazim digunakan untuk dua
macam pengertian:
a.
Mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan
dari suatu bahasa ke bahasa lainnya tanpa menerangkan makna dari bahasa asal
yang diterjemahkan.
b.
Menafsirkan suatu pembicaraan dengan
menerangkan maksud yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan bahasa yang
lain.
Terjemah secara terminologi adalah salinan
dari suatu bahasa ke bahasa lain atau berarti juga mengganti, menyalin,
memindahkan dari suatu bahsa ke bahasa lain.[8]
Menurut As-Shabuni yang dimaksud dengan
terjemah Al-Qur’an adalah sebagaimana yang telah beliau kemukakan dalam
kitabnya At-Tibyan:
Memindahkan Al-Qur’an ke bahasa lain yang
bukan bahasa Arab dan mencetak terjemah ini ke dalam beberapa naskah agar
dibaca orang yang tidak mengerti bahasa Arab, sehingga ia dapat memahami kitab
Allah swt dengan perantaraan terjemah ini.[9]
B. Persamaan dan Perbedaan antara Tafsir,
takwil dan Terjemah
Para mufasirin berselisih pendapat dalam
mamberi makna tafsir dan takwil. Abu Ubaaydah berkata: tafsir dan takwil satu
makna. Pengertian demikian dibantah oleh segolongan ulama. Diantaranya Abu
Bakar Ibnu Habib An-Naisaburi.
Al-Asfhafani berkata tafsir lebih umum
daripada takwil. Tafsir lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal.
Sedangkan takwil lebih banyak dipakai mengenai makna dan susunan kalimat.
Al-Mathuridi berkata: “tafsir ialah
menetapkan apa yang dikehendaki oleh ayat dan dengan sungguh-sungguh
menetapkan, demikianlah yang dikehehndaki Allah. Maka jika ada dalil yang
membenarkan penetepan itu, dipandanglah tafsir yang shohih. Jika tidak, dipandanglah
tafsir yang berdasarkanfikiran yang tidak dibenarkan. Takwil ialah mentarjihkan
salah satu maknayang mungkin diiterima oleh ayat, yaitu salah satu muhtamilat,
dengan tidak meyakini bahwa demikianlah yang sungguh-sungguh dikehendaki
Allah’.
Ibnu- jarir mempergunakan kata takwil
dengan makna tafsir sebagai penutup ta’rif ini kami menerangkan apa yang telah
dikemukakan oleh al-maghrabi dalam kitabnya al-ahlaq wa a wajibat yang artinya
tafsir itu ialah tersembunyi makna ayat sebagian pendengar maka apabila engkau
syarahkan lafadz-lafadznya dari jurusan lugah nahwu dan balaghoh difahamkan
oleh pendengar itu dengan baik dan tenanglah jiwamu kepada makna tersebut
adapun takwil ialah ayat mempunyai beberapa makna yang semuanya dapat diterima.
Maka setiap-tiap engkau sebut sesuatu makna satu demi satu makna, dia
ragu-ragu, tdak tahu mana yang dipilihnya. Karena inilah takwil itu banyak
dipakai pada ayat mutasyabihah sedang tafsir dipakai pada ayat-ayat muhkamat.[10]
C. Otoritas Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
Ilmu tafsir merupakan kunci utama untuk
bisa memmhami al-Qur’an dengan baik dari berbagai aspeknya.tanpa ilmu tafsir,
seseorang dengan kontekstualitasnya yang sngat luas tentu mustahil bisa
memahami al-Qur’an dengan benar dan baik. Tanpa ilmu tafsir pemahaman makna tekstualitas
dan kontektualitas al-qur’an tidak mungkin bisa dikembangkan dan sosilalisasi
publikasi pengmalan al-Qur’an tidak akan berjalan lancar. Jadi ilmu tafsir
memiliki fungsi yang sangat penting dan strategis dalam upaya memahami
al-Qur’an yang degan itu terciptalah masyarakat ideal sesuai dengan petunjuk
al-Qur’an.
Sedangkan ta’wil adalah suatu ilmu yang
berada dalam al-Qur’an yang dapat membantu seseorang dalam memahami isi
kandungan dan rahasia suatu ayat. Dengan adanya ilmu tersebut seseorang dapat menjangkau
sesuatu dengan ilmu pengetahuannya. Tidak sembarang orang dapat menta’wilkan
al-Qur’an melainkan orang-orang yang dapat menguasai ilmu bahasa dan sastra
Arab. Baik dalam ilmu nahwu sharaf badi’ ma’ani maupun bayannya.[11]
Dan terjemah adalah suatu alat atau media
yang dapat memberikan suatu pesan kepada orang lain uantuk dia mengerti dari
apa yang telah diterjemahkan dari al-Qur’an itu sendiri. Degan terjemah
tersebut akan membantu orang-orang yang kurang faham tentang bahasa Arab yang
notabene adalah bahasa al-Qur’an akan mengerti dan sedikitnya tau maksud atau
pesan yang terkandung dalam al-Qur’an tersebut.
D. Sejarah Perkembangan Tafsir dan Takwil
1.
Sejarah
Perkembangan Tafsir
a.
Perkembangan
Tafsir Periode Mutaqaddimin (Klasik)
1. Perkembangan Tafsir Pada Masa Nabi Dan Sahabat.
pada masa Rasulullah saw. Al-Quran
ditafsirakan oleh beliau sendiri, karena Rasul yang berfungsi sebagai mubayyin
atau pemberi penjelasan, menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti
kandungan Al-Qur’an, Allah memberikan jaminan kepada Rasul-Nya bahwa ia akan
memelihara Qur’an dan menjelaskannya,
Nabi memahami Al-Qur’an secara global dan terperinci, adalah
kewajibannya menjelaskannya kepada para sahabatnya, sebagaimana dijelaskan
dalam firman-Nya ;
“Dan kami turunkan kepadamu az-Zikr, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan.
(Qs. An-Nahl: 44)[12].
Para sahabat juga memahami Qur’an karena Qur’an diturunkan dalam
bahasa mereka, sekalipun mereka tidak memahami detai-detailnya. Ibnu kholdun
dalam muqoddimahnya meenjelaskan Qur’an diturunkan dalam bahsa arab dan menurut
ushlub-ushlub balagahnya. Karena itu semua orang arab memahaminya dan
mengetahui makna-maknanya baik kosa kata maupun susunan kalimatnya. Namun
demikian mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya, sehingga apa yang tidak
diketahui oleh seseorang di antara mereka boleh jadi diketahui oleh yang lain.
Para sahabat dalam menafsirkan Qur’an pada
masa ini berpegang pada :
-
Al-Qur’anul karim , sebab apa yang di
kemukakan secara gobal di satu tempat dijelaskan secara terperinci ditempat
yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum
namun kemudian disusul oleh ayat lain yang memebatasi atau mengkhususkanya.
Inilah yang dinamakan tafsir “Qur’an dengan Qur’an”. Penafsiran seperti ini
cukup banyak contonya. Misalnya kisah-kisah dalam Qur’an yang ditampilkan
secara ringkas (mu’jaz) di beberapa tempat, kemudian di tempat lain datang
uraiannya panjang lebar (mushab).
-
Nabi
saw. Mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan Qur’an. Karena itu
para sahabat bertanya kepadanya ketika mendapat kesulitan dalam memahami
sesuatu ayat.
-
Pemahaman
dan ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatk aslian tafsiran dalam Qur’an
dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari
Rassullah, mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar.
Ini mengingat mereka adalah orang-orang arab asli yang sangat menguasai bahsa
arab, memhaminya dengan baik dan mengatahui aspek-aspek kebalagahanyang ada didalamnya.
Pada masa ini tidak ada sedikitpun tafsir yang dibukukan, sebab
pembukuan baru dilakukan pada abad kedua. Di samping itu tafsir hanya merupakan
cabang dari hadis, dan belum mempunyai bentuk yang teratur. Di riwayatkan
secara bertebaran mengikuti ayat-ayat yang
berserakan, tidak tertib atau berurutan sesuai sistematika ayat-ayat
Al-Qur’an dan surah-surahnya disamping juga tidak mencakup keseluruhannya[13].
2.
Perkembangan
Tafsir Pada Masa Tabi’in
Pada masa ini, tafsir tetap konsisten dengan cara khas, penerimaan
dan periwayatannya. Akan tetapi setelah banyak ahli kitab masuk islam, para
tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita isra’iliyat yang kemudian
dimasukan kedalam tafsir. Misalnya yang diriwayatkan dari Abdullah bin salam,
Ka’ab Ahbar, Wahb bin munabbih dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin juraij.
Disamping itu, pada masa ini mulai timbul silang pendapat mengenai status
tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat mereka.
Namun demikian pendapat-pendapat tersebut berdekatan satu dengan yang lain atau
hanya merupakan sinonim semata. Dengan demikian perbedaan itu hanya dari segi
redaksional, buakan perbedaan yang saling bertentangan dan kontradiktif.
3.
Perkembangan
Tafsir Pada Masa Pengkodifikasian (Penulisan/Pembukuan)
Kalau yang digambarkan di atas tentang sejarah pekembangan tafsir
dari segi corak penafsiran dan perkembngannya dari masa Rasul sampai tabi’in,
maka perkembangan dapat pula di tinjau dari segi kodifikasi (penulisan). Hal
mana dapat di lihat dalam tiga periode :
Periode Pertama, pada
zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke
dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Periode
Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah
menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah
ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar
An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan
sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in. Periode
Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil
pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya.Periode Keempat, pembukuan tafsir
banyak diwarnai dengan buku – buku terjemahan dari luar Islam. Sehingga metode
penafsiran bil aqly
(dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin
naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi
spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir Al-Qur’an dari segi
hukum seperti Alqurtuby, Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti
ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya. Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu
membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang
keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi
Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasikh wal Mansukh, Al-Wahidi
Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jashshash dengan Ahkamul Qur’annya.
b. Perkembangan
Tafsir Periode Muta’akhkhirin (Modern)
Tafsir
al-qur’an pada periode mutaakhkhirin
tidak hanya mengandalkan kekuatan tafsir
bi al-ma’tsur yang telah lama mereka waris, tetapi juga berupaya keras
mengembangkan tafsir bi al-dirayah
dengan segala macam implikasinya. Karena itu, tafsir al-qur’an mengalami
perkembangan sedemikian rupa dengan penitikberatan(fokus-perhatian) pada
pembahasan aspek-aspek tertentu sesuai dengan tendensi dan kecenderungan
kelompok mufassir itu sendiri.
Ada mufassirin yang lebih menekankan
penafsiran al-quran dari segi bahasa, utamanya pada keindahan bahasa (balaghah) seperti
az-Zamakhsyari(467-538H/10741143M) dalam karyanya al-kasysyaf al-Baydhawi dalam kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil.Ada pula golongan yang semata-mata
meninjau dan menafsirkan al-quran dari segi tata bahasa, kadang-kadang
menggunakan syair-syair arab jahili untuk mengokohkan pendapat mereka, seperti
al-Zajjaj dalam tafsir Ma’ani al-Qur’an. Ada
segolongan ulama tafsir yang menitikberatkan pembahasannya dari segi
kisah-kisah dan cerita-cerita yang terdahulu, termasuk berita dan cerita yang
berasal dari orang yahudi dan nasrani, bahkan kadang-kadang berasal dari kaum
zindik yang ingin merusak islam. Tafsir terkenal yang menafsirkan Alqur’an dengan
sistem ini adalah ats-Tsa’albi dan ‘Auluddin bin Muhammad al-Baghdadi
(w.741H/1340M).Ada yang ulama tafsir yang mengutamakan penafsiran ayat-ayat
yang berhubungan dengan penetapan hukum-hukum fikih seperti yang dilakukan oleh
al-Qurthubi(w.671H/1272M) dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Ada
golongan yang menafsirkan ayat-ayat Alqur’an yang berhubungan dengan
sifat-sifat Allah. Ayat-ayat yang membahas masalah ini seakan-akan berlawanan
dengan sifat-sifat kesucian dan ketinggian Allah padahal ayat-ayat tersebut
tidak berlawanan dengan sifat-sifat Allah yang sesungguhnya. Penafsir yang
terkenal menafsirkan ayat seperti di atas ialah Imam ar-Razy(w.610H/1213M dalam
tafsir mafatih al-Ghaib.Ada golongan
yang menitikberatkan penafsirannya pada isyarat-isyarat alQur’an yang
berhubungan dengan ilmu suluk dan tasawuf, seperti tafsir al-Tasturi susunan
Abu Muhammad Sahl bin Abd Allah al-Tasturi.Ada golongan yang hanya membahas
lafal-lafal alqur’an yang gharib(jarang
terpakai dalam perkataan sehari-hari), seperti kitab Mu’jam Gharaib al-Qur’an nukilan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dari Shahih al-Bukhari.
c.
Perkembangan tafsir pada masa kontemporer
Periode ini dimulai dari akhir abad sembilan belas hingga kini.
Sudah sekian lama pemeluk islam mengalami penindasan dan penjajahan oleh bangsa
barat yang notabene adalah kaum
imperialise-kolonolis.
Untuk menghadapi kebobrokan mental itu, berbagai tokoh dan pejuang
muslim berupaya keras untuk melakukan perbaikan. Lalu, munculah gerakan
modernisasi islam yang, antara lain, dilakukan oleh tokoh-tokoh islam semisal
Jamal al-Din al-Afghani(1245-1315 H/1838-1897M), Syekh Muhammad
Abduh(1265-1323H/1849-1905M) dan Muhammad Rasyid Ridha(1282-1354H/1865-1935M).
Ketiga tokoh ini menjadi penggerak perubahan dan gerakan purifikasi terhadap nilai-nilai
islam di Mesir, Negara yang banyak melahirkan tokoh pemikir dan pergerakan
islam. Dua orang yang disebutkan terakhir, yakni Syekh Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha berhasil melahirkan tafsir Al-qur’an yang hingga kini disegani ,
yakni Tafsir al- Manar meskipun tidak
sampai tamat. Kesungguhan tafsir ini diakui oleh banyak orang dan memiliki
pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan tafsir, baik bagi kitab tafsir
al-qur’an yang semasa dengannya maupun kitab tafsir yang terbit pada masa-masa
sesudahnya. Embrio bagi tafsir al-qur’an yang lahir abad dua puluh dan dua
puluh satu banyak yang mendapat inspirasi dari tafsir al- Manar ini seperti Tafsir
al- Maraghi, Tafsir al-Qasimi dan Tafsir
al- Jawahir karya Thanthawi Jauhari.
Bersamaan dengan upaya pembaharuan dan gerakan purifikasi islam,
serta gerakan penafsiran al-qur’an di Mesir dan Negara-negara islam lainnya,
para ilmuwan muslim Indonesia pun melakukan gerakan yang sama. Para ilmuwan dan
cendekiawan lokal berusaha keras untuk melakukan penerjemahan dan penafsiran
al-qur’an ke dalam bahasa Indonesia. Ulama tafsir Indonesia yang tergolong
aktif dalam usaha penafsiran dan melahirkan tafsir yang berkualitas dan
monumental adalah Prof. Dr. Buya Hamka(1908-1981). Buya Hamka, selain berhasil
menerbitkan Alqur’an dan Tafsirnya yang di terbitkan oleh
Departemen Agama Republik Indonesia dan Tafsir
al-Azhar juga seorang sastrawan yang sangat produktif.
Para ahli tafsir Indonesia lainnya, baik yang sudah wafat maupun
yang masih hidup, yang melahirkan kitab tafsir sangat berharga bagi
pengembangan imu Alqur’an, antara lain, Dr. TM. Hasbi
Ash-Shiddiqiey(1322-1395H/1904-1975M) dengan karyanya Tafsir al- Nur dan Tafsir al-
Bayan, Prof. Dr. Mahmud Yunus(1317-1403H/1899-1982M),A.
Hasan(1301-1378H/1883-1958M). kini, Indonesia memiliki seorang penafsir
kontemporer yang dalam penafsirannya menggunakan pendekatan yang sangat khas,
yakni Prof. Dr. M. Quraish Shihab,MA. Pemikiran beliau bisa ditelusuri terutama
lewat karyanya Tafsir al-Mishbah,
selain tafsir al-fatihah.[14]
2.
Sejarah
Perkembangan Takwil
Adakah persamaan dan perbedaan antara tafsir dan takwil. Menurut
sebagian ulama, antara lain, Abu Ubaidah dan yang sependirian dengannya, tafsir
dan takwil memiliki satu arti karena keduanya merupakan sinonim (muradif)
sehingga yang satu dan lainnya di gunakan untuk pengertian yang sama. Jadi,
jika di sebut kata tafsir berarti juga takwil, dan sebaliknya, jika di sebut
kata takwil, berarti juga kata tafsir. Sebagian ahli tafsir lainnya menentang
pengidentikan, apalagi penyamaan, antara tafsir dan takwil seperti yang di
kemukakan Abu Ubaidah. Bagi mereka, takwil tidak sama dengan tafsir. Hanya
saja, mereka berbeda berpendapat dalam mengedepankan sisi perbedaannya.
E.
Sejarah
Pertentangan Antara Pendukung Tafsir Dan Takwil.
Ulama kontemporer (khalaf) yang didukung oleh kalangan fuqaha,
mutakallimin (para teolog), ahli hadits, dan kelompok sufi (mutashawwifah)
mengartiakan takwil sebagai pengalihan lafal dari makna yang kuat (rajih)
kepada makna lain yang dikuatkan atau dianggap kuat karena ada dalil yang
mendukung.
Menurut sebagian ulama, antara lain, Abu Ubaidah dan yang
sependirian dengannya, tafsir dan takwil memiliki satu arti karena keduanya
merupakan sinonim (muradif) sehingga yang satu lainnya digunakan untuk
pengertian yang sama. Jadi, jika disebut kata tafsir berarti juga takwil,
begitupun sebaliknya. Sebagian ahli tafsir lainnya menentang pengidentikan,
apalagi penyamaan, antara tafsir dan takwil sperti yang dikemukakan Abu
Ubaidah. Bagi mereka, takwil tidak sama dengan tafsir. Hanya saja, mereka
berbeda pendapat dalam mengedepankan sisi perbedaannya.
Ar Raghib, misalnya, berpendirian bahwa makna tafsir lebih umum
daripada takwil, atau sebaliknya, makna takwil lebih khusus daripada tafsir.
Istilah tafsir, lebih banyak digunakan dalam konteks lafal dan makna mufrodat,
sedangkan penggunaan takwil lebih banyak dihubungkan dengan persoalan makna
dari rangkaian pembicaraan secara keseluruhan. Menurut al Thabarsi, tafsir
adalah upaya menyimak pengertian dari lafal yang musykil, sedangkan takwil
adalah upaya mengembalikan salah satu dari dua makna yang dimungkinkan ke arah
pengertian yang lebih sesuai dengan makna lahir. Abu Thalib as Tsa’labi
mengatakan “ Tafsir adalah menerangkan objek lafal (redaksi teks) dari sisi
pandang hakiki atau majazi. Dan takwil bermaksud menafsirkan subtansi teks
(bathin al lafzh).” Jadi dapat dikatakan bahwa ta’wil lebih berorientasi pada
pengabaran tentang hakikat sesuatu yang dikehendaki, sedangkan tafsir lebih
mengedepankan berita tentang dalil yang dikehendaki.
Terlepas dari perbedaan persepsi di antara para ahli Tafsir tentang
persamaan dan perbedaan antara tafsir dan takwil itu, sesungguhnya, sasaran dan
tujuannya sama saja, yaitu menjelaskan maksud dan makna dari ayat-ayat Al
Qur’an. [15]
Menurut sekelompok ulama, tafsir dan takwil mempunyai makna yang
sama. Inilah yang diketahui oleh sebagian besar para ulama tafsir zaman dahulu.
Namun sebagian
ulama ada yang mengatakan bahwa tafsir lebih umum dari pada takwil. Tafsir
lebih memperhatikan lafal-lafal, sedangkan takwil lebih memperhatikan makna,
seperti takwil mimpi.
Sebagian ulama
lainnya mengatakan bahwa tafsir memutuskan apa yang dimaksud oleh sebuah lafal.
Sedangkan, takwil adalah memilih satu dari banyak kemungkinan.
Dan, ulama lainnya
mengatakan bahwa tafsir adalh pembicaraan tentang sebab turunnya ayat,
kejadian, dan kisahnya. Sedangkan, takwil adalah mengalihkan ayat kepada makna
yang kemungkinan miliknya dengan melihat ayat sebelumnya dan setelahnya , yang
tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah dengan jalan istinbath menarik
kesimpulan.
Sebagian mereka mengatakan bahwa tafsir adalah yang berhubungan
dengan riwayat. Sedangkan, takwil adalah yang berhubungan dengan dirayah.
Tidak ada jalan untuk memutuskan mana yang kuat dair
pendapat-pendapat itu karena setipa penafsir menggunakan kata sesuai dengan
pemahaman mereka. Oleh karena itu, definisi kedua kata di atas tidak dapat
dirangkumkan.
Sedangkan takwil dalam ilmu ushul dan ilmu kalam sudah diketahui
secara umum. Yaitu, mengalihkan lafal dari zahir maknanya kepada makna yang
lain karena adanya qarinah “indikator”.[16]
Para ulama dalam
menyikapi takwil ini berbeda-beda antara satu dengan
lainnya. Al-Ghazali mengklasifikasikannya dalam 5 kelompok, yaitu:
1.
Menolak takwil dan
hanya membenarkan apa yang tertulis secara tekstual dalam nas itu sendiri.
2.
Berpedoman pada
kekuatan akal dan kurang memperhatikan teks itu. Inilah yang banyak memperluas
wilayah takwil.
3.
Menjadikan akal sebagai
dasar pokok. Apa yang terdapat dalam suatu teks kelihatan bertentangan dengan
akal akan ditolak.
4.
Menjadikan teks sebagai
dasar pokok dan tidak sampai mendalami akal pemikiran.
5.
Moderat dengan berusaha
mengkompromikan antara akal dan nas yang masing-masing mempunyai dasar dan
saling melengkapi. Kelompok ini mengingkari adanya pertentangan antara akal dan
syara.
Keanekaragaman pendapat
dan sikap tersebut, ada yang berlebih-lebihan, dan ada pula yang sedang-sedang,
baik dalam menerima ataupun dalam menolak. Namun, secara umum sikap ulama
terhadap takwil ini adalah terbagi atas dua, ada yang menerima dan ada yang
menolak. Perbedaan sikap tersebut terjadi karena perbedaan cara mereka memahami
ayat 7 surah Ali Imran.
وَمَايَعْلَمُ
تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا
بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا
“… padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat
mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”
Bagi mereka yang tidak
membolehkan takwil beralasan, bahwa ayat tersebut dibaca dengan tanda wakaf
(berhenti) pada kata “Allah” (إِلاَّ اللهُ
) “… tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah”. Jadi, hanya Allah saja
yang mengetahui takwilnya, sedangkan orang-orang yang berpengetahuan mendalam
cukup mengimani keberadaannya dan menyerahkan pengertiannya kepada Allah.
Adapun ulama yang
membolehkan takwil itu adalah beralasan bahwa ayat tersebut dibaca وما يعلم تأويله الا الله والراسخون فى العلم(…
tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam
ilmunya”. Jadi, di samping Allah yang mengetahui takwil itu juga orang yang
mempunyai pengetahuan yang mendalam.
Demikian pula yang
dijadikan alasan adalah riwayat dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Nabi saw
pernah mendoakan untuknya. أَللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى
الدِّيْنِ وَ عَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ (Ya Allah! Berikanlah pemahaman kepada dia
tentang agama dan ajarkanlah dia pengetahuan takwil).
Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas menyebutkan, “saya ini termasuk di antara
orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam yang mengetahui
takwilnya).
Dalam sejarah telah
dijumpai bahwa pada masa salaf sebagian ulama tidak mau mentakwil dalam
memahami ayat-ayat, mereka cukup merasa puas dengan menyerahkan pengertiannya
kepada Allah, dengan semboyan “Allahu A`lamu bi Murâdihî” (Allah Maha
Mengetahui maksudnya). Bahkan mislanya imam Malik pernah ditanya mengenai
pengertian firman Allah dalam QS. Thaha ayat 5 “Tuhan Yang Maha Pemurah
bersemayam di atas `Arsy”. Imam Malik menjawab: “Pertanyaan seperti ini adalah
bid`ah (tercela dalam pandangan agama).
G. Latar Belakang Terjadinya Perbedaan Produk Penafsirsan
1. Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan
dalam penafsiran
a. Subjektivitas mufasir.
b. Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah.
c. Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat.
d. Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat.
e. Tidak memperhatikan konteks, baik asbab an nuzul, hubungan antar ayat,
maupun kondisi sosial mayarakat.
f.
Tidak memperhatikan
siapa pembicara dan terhadap pembicaraan ditujukan.
Karena itu dewasa ini,
akibat semakin luasnya ilmu pengetahuan, dibutuhkan kerja sama para pakar dalam
berbagai disiplin ilmu untuk bersam-sama menafsirkan ayat-ayat al Qur’an.
Disamping apa yang telah di kemukakan di atas, yang mengakibatkan adanya
pembatasan-pembatasan dalam penafsiran al Qur’an, masih ditemukan pula beberapa
pembatasan menyangkut penafsiran, khususnya dalam tiga bidang, yaitu perubahan
sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa.[17]
H.
Al-Dakhil
1.
Pengertian
Secara bahasa,
kata ad-dakhil dalam bahasa arab memiliki banyak arti, Fairuzzabaadi dalam
kamusnya Al-Muhit mengartikan kata dakhil sebagai sesuatu yang masuk ke dalam
tubuh manusia ataupun akalnya berupa penyakit atau sesuatu yang jelek. Menurut
Zamakhsyari Dakhil merupakan suatu penyakit atau aib yg masuk ke alam tubuh
atau ke dalam makanan sehingga merusaknya, sedangkan masyarakat Arab
memaknainya sebagai suatu kata atau bahasa asing yang masuk dan bercampur ke
dalam bahasa Arab. Dapat disimpulkan, arti dakhil secara bahasa adalah; makar,
rekayasa, aib dan kerusakan.[18] Sedang makna dakhil secara istilah menurut ulama tafsir,
sebagaimana yang di defenisikan oleh Dr. Ibrahim Khalifah adalah; penafsiran
Al-Quran yang tidak memiliki sumber jelas dalam Islam, baik itu tafsir
menggunakan riwayat-riwayat hadits lemah dan palsu, ataupun menafsirkannya
dengan teori-teori sesat sang penafsir (karena sebab lalai ataupun disengaja).
Sedang, Dr. Abdul Wahhab memaknai dakhil dengan; menafsirkan Al-Qur’an dengan
metode dan cara yang diambil bukan dari Islam.[19]
Dakhil dalam tafsir adalah :
الدخيل في التفسير هو ما نقل من التقسير ولم يثبت نقله او ثيت ولكن
على خلاف القبول او ما كان من قبيل الرأي الفاسد
penafsiran
Al-qur’an dengan al-ma’tsur yang tidak shahih, penafsiran Al-qur’an dengan al-ma’tsur yang shahih tatapi tidak memenuhi
syarat-syarat penerimaan atau penafsiran al-qur’an dengan pikiran yang salah.[20]
Berdasarkan pengertian di atas maka pengertian al-dakhil dalam
tafsir adalah suatu aib dan cacat yang sengaja ditutup-tututpi dan disamarkan
hakikatnya seta disisipkan di dalam beberapa bentuk tafsir al-Quran yang
otentik. Akiba penyembunyian dan penyamaran ini, usaha untuk mengetahui dan
mengungkapkannya membutuhkan suatu penelitian.[21]
Unsur dakhil dalam tafsir
ada tiga, yaitu :
a.
Penafsiran
al-qur’an dengan al-ma’tsur yang tidak shahih. Pengertian al-ma’tsur disini adalah a. Alqur’an, b.
hadis, c. qaul sahabat, d. qaul tabii. Alqur’an dalam pengertian al-ma’tsur yang tidak shahih adalah qira’ah yang tidak mutawatir. Hadis yang
tidak shahih adalah seluruh bentuk hadis dlaif. Sedang hadis hasan
dikelompokkan ke dalam hadis shahih. Faktor dakhil pada unsur ini adalah sanad
(mata rantai perawi) al-ma’tsur.
b.
Penafsiran
al-qur’an dengan al-ma’tsur yang shahih tetapi tidak memenuhi
syarat-syarat penerimaan. Faktor dakhil pada unsur ini bukan sanad al-ma’tsur. Tetapi matannya.
c.
Penafsiran
alqur’an dengan pikiran yang salah. Faktor dakhil pada unsur ini bukan sanad al-ma’tsur, bukan pula matannya, tetapi
pikiran yang salah.[22]
Penafsiran alqur’an yang bercacat disebut dakhil, dan antonim
dakhil adalah Ashil. Dengan demikian
penafsiran al-qur’an terbagi kedalam empat bentuk, yaitu : 1. Ashil al-Naql; 2. Ashil al-Ra’yi; 3. Dakhil
al-Naql; 4. Dakhil al-Ra’yi. Unsur
dakhil pertama dan kedua pada definisi di atas masuk dalam dakhil al-naql.
Sedang unsur dakhil ketiga pada definisi di atas masuk dalam dakhil al-ra’yi.
2.
Macam-macam
ad-Dakhil
Para ulama Tafsir membagi dakhil menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :
a.
Dakhil al- Naqli
Bentuk-bentuk dakhil al-naqli yaitu sebagai berikut :
-
Menafsirkan
Alquran dengan hadis yang tidak layak dijadikan hujjah. Seperti menafsirkan
Alquran dengan hadis palsu dan dhaif, lebih-lebih bila faktor kedaifan hadis
itu sesuatu yang tidak mungkin direhabilitasi seperti tidak terpenuhinya unsur
‘adalah (integrasi perawi).[23]
Hadits yang layak diterima sebagai dalil adalah hadis sahih dan hadis hasan.
Perbedaan antara sahih dan hasan adalah pada daya hapal perawi. Sanad hadis
sahih memiliki daya hapal yang kuat sedangkan sanad hadis hasan memiliki daya
hapal yang di bawah standar hadis sahih.[24]
Contohnya :
Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami, yang Kami telah berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan
yang telah kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami. (Qs. AL-Kahfi:65).
Dalam menafsirkan ayat ini, kelompok yang berpendapat bahwa Nabi
Khidir masih hidup berdasarkan argumentasi dengan hadis :
‘’bahwa Zulkarnain berteman dengan seorang malaikat. Ia meminta
temannya itu menunjukkan sesuatu yang dapat memperpanjang umurnya kepadanya.
Malaikat menunjukkan ‘ain al hayah (air mata kehidupan) kepadanya yang berada
di tempat gelap. Zulkarnain berjalan menujunya, sedang di depannya berjalan
pula Khidir. Khidir mendapatkannya sedang Zulkarnain tidak.”[25]
Ibnu Hajar menegaskan bahwa hadis ini menjadi sandaran pendapat
bahwa Khidir akan hidup sampai kiamat karena ia telah minum mata air
kehidupan. Hadis ini dhaif karena bersumber dari Wahb Ibn Munabbih dan
lain-lain. Semua Israiliyyat yang bersumber darinya adalah dhaif dan
tidak dapat dipercaya.[26]
-
Menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat
yang tidak valid, seperti menafsirkan alquran dengan hadis mauquf yang palsu
atau sanadnya dhaif.[27]
-
Menafsirkan Alquran dengan pendapat tabii yang
tidak valid, seperti menafsirkan alquran dengan hadis mursal yang palsu atau
sanadnya dhaif.
-
Menafsirkan al-Quran dengan salah satu bentuk ashli
al-naqli dari tiga bentuk ashil al-naqli yang terakhir kontradiktif
yang kontradiksinya sangat kontras dan tidak dapat dikompromikan dengan logika,
sekalipun logika itu asumtif.
b. Dakhil al-Ra’yi
Bentuk-bentuk
dakhil al-Ra’yi yaitu sebagai berikut :
-
Dakhil
karena faktor kesalahpahaman akibat kurang terpenuhinya syarat-syarat ijtihad,
tetapi penafsirannya didasari niat yang baik.[28]
لم يجتمع اثنان من اهل التعديل والتخريج على تضعيف او توثيق ضعيف
Salah satu sebab kekeliruan ialah melakukan induksi yang tidak
sempurna. Contoh induksi yang tidak sempurna ialah pendapat adz-Dzahabi tentang
perawi hadits :
Tidak pernah dua orang ulama yang memiliki otoritas di bidang
pengukuhan integritas kepribadian perawi dan penarikannya sepakat menilai dhaif
seorang yang tsiqah atau menilai tsiqah seorang yang dhaif.
Salah satu bukti kesempurnaan induksi di atas adalah kasus Muhammad
bin Ishaq, penulis buku al-Maghazi. Sekalipun mayoritas ulama menarik
integritasnya dan menuduhnya bermadzhab syi’ah, namun dua ulama, yaitu :
Syu’bah dan Abu Zar’ah mengukuhkan integritasnya dan menilainya seorang yang shaduq(jujur).
-
Dakhil karena pemutarbalikan logika dan
pengabaian makna literal. Dakhil karena faktor ini sering dilakukan oleh
kelompok Mu’tazilah dan sebahagian filosof muslim.[29]
Muktazilah adalah aliran yang menganut paham qadariah,
pengikutnya selalu disebut ashhab al-‘adl wa al-tauhid. Sekalipun
sekte aliran ini banyak, namun semua sepakat dalam hal Allah bersifat qadim,
mausia adalah pelaku perbuatannya, mukmin pelaku dosa besar yang tidak tobat
kekal dalam neraka, dan sekalipun wahyu belum turun namun manusia wajib
mengenal Allah dan mensyukuru nikmat-Nya.
-
Dakhil karena faktor pengungkapan aspek-aspek
mukjizat al-Quran yang diada-adakan dan aneh khusus aspek ilmiahnya. Dakhil
karena faktor ini sering dilakukan oleh sebagian ilmuan yang menguasai
ilmu-ilmu kontemporer.[30]
Memposisikan ayat al-Quran sebagai dasar pengesahan sesuatu yang
belum pasti kebenarannya adalah suatu kesalahan. Teori-teori ilmiah masih
bersifat sementara dan belum final. Al-Quran adalah kitab suci yang berisi
hidayah terkadang mengisyaratkan beberapa bagian masalah ilmiah yang
eksperimental lagi berwujud.banyak orang menyikapi al-Quran secara tidak wajar.
Mereka mengklaim bahwa al-Quran telah mencakup semua cabang disiplin ilmu yang
telah dipelajari dan yang akan dipelajari manusia seperti ilmu fisika,
matematika, logika dan semua keterampilan serta keahlian. Klaim seperti ini
tidak benar. Yang paling mengetahui ilmu al-Quran dan kandungannya adalah para
sahabat dan tabi’in, tidak seorangpun drai mereka yang mengeluarkan pebdapat
yang serupa.[31]
Contoh tafsir ilmi yang mengungkap aspek I’jaz al-Quran :
dan Dia-lah yang menurunkan air dari langit lalu dia hasilkan
dengan itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu (Qs. Al-Baqarah : 22)
Dalam menafsirkan ayat ini Dr. Abdul Aziz Ismail menyatakan bahwa
ayat ini mengindikasikan bahwa daging, ikan dan susus lebih bergizi dan utama
daripada sayur-sayuran, gandum dan jagung. Keutamaannya tidak pada kandungan
kadar proteinnya yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Kemudian ia menulis
ayat di atas dengan mengungkap kesimpulan ilmiah ini secara ringkas. Sekalipun
kesimpilan ini sudah tertera dalam al-Quran namun kebenarannya baru terbukti
beberapa tahun terakhir. Dzahabi mengomentari pendapat di atas sebagai berikut,
‘’saya heran tentang ungkapannya ‘Ayat di atas mengungkap kesimpulan ilmiah
ini secara ringkas’.[32]
I.
Sejarah
dan Perkembangan al-Dakhil
Ketika Rasulullah S.A.W datang dengan syari’at
islamnya dan memperluas medan dakwah hingga menjamah Yastrib, kemudian diikuti
oleh para sahabat yang berhijrah dari Makkah menuju Madinah. Mulai dari sinilah
sebagian kelompok orang Yahudi menyambut seruan Nabi kepada islam, salah satu
contohnya adalah Abdullah bin Salam dan Tamin Al-Dairi R.A setelah memeluk
islam, mereka berdua menjadi salah satu rujukan para sahabat dalam menafsirkan
Al-Qur’an, terutama Abdulah bin Salam, misalkan ketika ingin menafsirkan
ayat-ayat yang bercerita tentang kisah umat terdahulu dan dalam Al-Qur’an tidak
dijelaskan secara detail, maka sebagian sahabat bertanya kepada mereka berdua
tentang kisah-kisah tersebut yang terdapat dalam Taurat dan Injil.
Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah
bin Amr bin Ash, merupakan sahabat yang paling banyak bertanya terhadap mereka
berdua tentang TAurat, Injil dan juga kisah umat terdahulu yang tidak terdapat
dalam Al-Qur’an, Atau diceritakan dalam Al-Qur’an tapi kurang terperinci,
karena maksud Al-Qur’an menceritakan kisah-kisah ini adalah sebagai ibroh dan
pelajaran untuk kaum muslimin.
Sikap Rasulullah dan para sahabat terhadap
kisah-kisah Isra’iliyat ketika segelintir orang-orang Yahudi masuk islam dan
sebagian sahabat banyak bertanya kepada mereka mengenai Taurat dan Injil,
terutama ketika mereka dihadapkan dengan cerita-cerita umat-umat terdahulu di
dalam Qur’an, pada awalnya Rasulullah sangat melarang, bahkan beliau sangat
marah ketika melihat Umar bin Khottob dating dengan membawa lembaran-lembaran
berupa kitab suci yang diperoleh dari ahlul kitab.
Tetapi kemudian seiring berlalunya waktu dan
islam telah menyebar keseluruh rumah di Madinah, Rasulullah pun mengizinkan
para sahabatnya untuk meriwayatkan cerita-cerita Isra’iliyat selama itu tidak
bertentangan dengan aqidah islam.
J.
Sikap
mufassir terhadap al-Dakhil
Para ulama
tidak dapat menetapkan hukum secara mutlaq atau general terhadap kisah-kisah israiliyyat.
Hal ini disebabkan ada dalil yang membolehkan untuk mengambil informasi dari
kalangan Ahli Kitab, yaitu sabda Rasulallah:
وحدثوا عن بنى اسرائيل ولا حرج و من كذب علي
متعمدا فليتبوأ مقعده من النار(
البخارى)
بلغوا عنى ولواية,
“Sampaikannlah dariku walau hanya satu ayat.
Dan ambillah riwayat dari Bani Israil, tanpa halangan, dan barang siapa yang
berdusta atas namaku dengan sengaja maka bersiap-siaplah untuk mengambil
tempatnya di neraka” (HR. Bukhari)
Namun ada juga hadits Rasulallah yang
seolah-olah melarang hal tersebut, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas berikut ini:
كيف تسألون أهل الكتاب عن شىء وكتابكم الذى أنزل
على رسول الله أحدث, تقرؤون محضا لم يشب؟!, وقد حدثكم أن أهل الكتاب بدلوا كتاب
الله وغيروه , وكتبوا بأيديهم الكتاب. وقالوا هو من عند الله ليشتروا به ثمنا
قليلا, ألا ينهاكم ما جاءكم من العلم عن مسألتهم, لا و الله ما رأينا منهم رجلا
يسألكم عن الذى أنزل عليكم
“Bagaimana kalian bertanya kepada ahli kitab,
sedangkan kitab kalian diturunkan kepada Nabi kalian yang beritanya lebih baru
dari Allah, kalian membacanya dan tidak mencela?!. Allah memberitahukan kapada
kalian bahwa ahli kitab telah mengganti apa yang telah ditetapkan oleh Allah
dan merubahnya dengan tangan-tangan mereka, kemudian mereka mengatakan bahwa ia
berasal dari Allah untuk menjualnya dengan harga yang murah. Tidakkah Ia telah
melarang kalian untuk bertanya kepada mereka. Demi Allah, mereka tidak
menanyakan sesuatupun kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada
kalian.”(HR. Al-Bukhari)
Menyikapi kedua dalil diatas yang seolah
bertentangan ini, para ulama mendudukkannya sebagai berikut; bahwa yang
dimaksud Rasulullah untuk mengambil riwayat dari ahli kitab sesungguhnya
tidaklah mutlaq, namun terikat hanya kepada riwayat yang baik dan cerita
yang tidak jelas status benar atau dustanya namun tidak ada indikasi tentang
kebatilannya.
Ibnu Katsir menjelaskan dalam muqaddimah
tafsirnya bahwa riwayat israiliyyat dapat diklasifikasikan menjadi tiga:
-
Kisah israiliyyat yang diketahui
kebenarannya karena sesuai atau tidak bertentangan dengan informasi al-Qur’an
dan Sunnah shahihah, maka kisah itu benar dan bisa diterima. Diperbolehkan
menggunakannya sebagai pembanding, bukan sebagai rujukan utama atau sebagai
sumber hukum. Seperti kisah yang menceritakan bahwa nama teman seperjalanan
nabi Musa adalah Khidir. Nama Khidir pernah disebutkan oleh
Rasulallah, sebagaimana tersebut dalam Shahih Bukhari
-
Kisah israiliyyat yang diketahui
kebohongannya karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah shahihah atau
tidak sejalan dengan akal sehat Kisah seperti ini harus dibuang dan tidak boleh
digunakan. Seperti cerita malaikat
Harut dan Marut yang terlibat perbuatan dosa besar, yaitu mabuk, berzina dan
membunuh.
-
Kisah israiliyyat yang didiamkan karena tidak dapat dipastikan
statusnya benar atau dusta. Kisah seperti ini tidak boleh dibenarkan ataupun
didustakan, namun boleh menceritakannya. Seperti kisah tentang bagian sapi betina yang
diambil untuk dipukulkan kepada orang mati dari Bani Israil.[33]
Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa meskipun
sebagian ulama salaf merekomendasikan kebolehan meriwayatkan israiliyyat
tanpa mengamalkannya, namun sesungguhnya riwayat-riwayat ini tetap tidak
ada gunanya dan tidak bermanfaat dalam masalah agama. Kalaupun ada yang
beranggapan israiliyyat ini bermanfaat untuk kesempurnaaan
informasi yang terdapat dalam agama, maka manfaat itu sangat kecil dan tidak
signifikan.
Para ulama, semisal Anas ibn Malik sangat
berhati-hati terhadap periwayatan israiliyyat ini, sehingga untuk itu ia
menyeleksi dengan ketat para perowi yang akan ia ambil hadits darinya. Qatadah
adalah salah satu rawi tabiin yang ditolak riwayatnya oleh Anas ibn Malik
karena ia banyak meriwayatkan israiliyyat.[34]
Keberadaan israiliyyat yang telah dinyatakan
tidak memberi manfaat bagi agama ini, dikomentari oleh Yusuf Al-Qaradhawi
secara tegas bahwa mengutip israiliyyat di dalam kitab tafsir,
seolah-olah seperti memenuhi berlembar-lembar halaman dan membuang-buang
waktu bagi sesuatu yang tidak didukung ilmu, yang tidak dapat dijadikan
petunjuk dan keterangan.[35]
Namun karena israiliyyat ini telah
tersebar di sebagian kitab-kitab tafsir, maka diperlukan kejelian dan
kehati-hatian, bagi siapa saja yang mendapati berita-berita yang bernuansa israiliyyat,
yaitu dengan mengikuti kaidah-kaidah dalam periwayatan israiliyyat,
sebagai berikut:
1.
Melakukan penelitian terhadap rawi-rawi
sanadnya
2.
Melakukan pengamatan terhadap matan atau
kandungan riwayat tersebut
3. Merujuk kepada para ulama
yang mendalami persoalan ini, seperti:
-
Ibnu Hazm dalam kitab al-Fashl fi al-Milal
wa Ahwal al-Nihal
-
Al-Thabari dalam kitab Tarikh al-Umam wa
al-Muluk
-
Al-Qadhi Iyadh dalam Kitab al-Syifa’ bi
Ta’rif Huquq al-Musthafa
-
Ibnu Taimiyyah dalam kitab al-Nubuwwah
dan al-Jawabu al-shahih li man Baddala Diin al-Masih
-
Ibn Al-Qayyim dalam kitab Hidayah al-Hiyar
fi Ajwibat al-Yahud wa al-Nashara
-
Ibn al-Katsir dalam kitab tafsirnya dan kitab al-Bidayah
wa al-Nihayah
-
Al-Hindi dalam kitab Izhar al-Haq
-
Jamaluddin al-Qasimi dalam kitab Mahasin
al-Ta’wil
-
Muhammad Husin al-Zahabi dalam kitab al-Israiliyyat
fi al-Tafsir wa al-Hadits dan Kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun
-
Dll.[36]
DAFTAR
PUSTAKA
Adz-Dzahabi,
Muhammad Husein, al-Tafsir wa al-Mufassirun, kairo: Maktabah Wahbah,
1992
AhmadIzzan,
MetodologiIlmuTafsir, Bandung, Tafakur, 2009
Al-Asqalani,
Ibnu Hajar, Ahmad bin Ali, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1379 H
Az-Zarkasyi,
Badruddin Muhammad bin Abdillah, Al-Burhan fi Ulumil Qur’an. Cairo, Dar
El-Hadits, 2006.
Hasbi Asy-Syidiqie, Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, Jakarta:PT Bulan Bintang, tahun 1972
KhalidAbdul Ar-Rahman Al-‘ak,
Ushul At-Tafsir wa Qawa’iduh, Bairut, 1986
Khalifah,
Ibrahim, al-Dakhil fi al-Tafsir, Kairo: Dar al-Bayan, 1402 H
Manna Al-Qaththan, Mabahits
fi UlumAl-Qur’an, suriyah, 1973
Muhammad Az-Zarkani, Manahil
Irfan Fi Ulumi Al-Qur’an, juz 1, Mesir
Poerwadarminta, KamusUmum
Bahasa Indonesi, BalaiPustaka, Jakarta tahun 1984
Qordhawi, Yusuf, “ Berinteraksi Dengan Al Qur’an”, Gema
Insani. Jakarta, 1999
Quraish Shihab,Membumikan
al-Qur’an, PT. Mizan Pustaka. Bandung, 2009
RosihonAnwar, UlumAl-Quran,
Bandung, CV pustaka setia, 2010
Suwailim,
Sayyid Ahmad, Ad-Dakhil fi Tafsir Al-Qur’an. Cet. II.
T.M. Hasbi
Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an,
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,cet.1,2009
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir,Bandung: Tafakur,
cet.1, 2007.
Manna Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta:
PT. Mitra Kerjaya Indonesia,cet.3,1973
[1]RosihonAnwar, UlumAl-Quran,
Bandung, CV
pustaka setia, 2010, hlm.209
[2]Ibid.1,
lihat juga Khalid Abdul Ar-Rahman Al-‘ak, Ushul
At-Tafsir wa Qawa’iduh, Bairut, 1986, hlm.30, lihat juga Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung,
Tafakur, 2009, hlm.11
[3][3]RosihonAnwar,
Ulum Al-Quran, Bandung, CV pustaka setia, 2010, hlm.209-210
[4]Hasbi Asy-Syidiqie, ilmu-ilmu Al-qur’an, Jakarta:PT
Bulan Bintang, tahun 1972 hlm. 202-203
[5]
Muhammad Az-Zarkani, Manahil Irfan Fi
Ulumi Al-Qur’an, juz1 , Mesir, hlm. 4-5
[6] Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, Bandung, CV pustaka setia, 2010, hlm.211-212, lihat
juga Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung, Tafakur, 2009, hlm.11
[7]Poerwadarminta,
Kamus Unun Bahasa Indonesia, (jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), h. 1062
[8]
Poerwadarminta, Kamus Umum BahasaIndonesi,
BalaiPustaka, Jakarta tahun 1984,hlm. 1062 lihat juga [8]
Muhammad Az-Zarkani, Manahil Irfan Fi
Ulumi Al-Qur’an, juz 1 , Mesir, hlm. 24
[9]
Ibid.1hlm 212
[10][10]
Hasbi Asy-Syidiqie, ilmu-ilmu Al-qur’an,
Jakarta:PT Bulan Bintang, tahun 1972 hlm. 153-160
[11]
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir,
Bandung, Tafakur, 2009, hlm.12-13
[12]Studi
ilmu-ilmu Al-Qur’an, Manna kholil al-Qattan.
[13]Studi
ilmu-ilmu Al-Qur’an, Manna kholil Al-Qattan.
[14] Metodologi ilmu tafsir, Dr. H. Ahmad
Izzan, M.Ag
[15]( Ahmad Izzan, “ Metodologi Ilmu Tafsir”,hal.
4-10, Tafakur, 2009)
[16](Yusuf
Qordhawi, “Berinteraksi dengan Al Qur’an”, hal. 284-285 Gema Insani,
2009)
[17]( Quraish Shihab, “Membumikan Al Qur’an”, hal.
119, Mizan Pustaka, 2009)
[18]Adz-Zarkasyi,
Badruddin Muhammad bin Abdillah, Al-Burhan fi Ulumil Qur’an
[19]Suwailim,
Sayyid Ahmad, Ad-Dakhil fi Tafsir Al-Qur’an
[20] Ibrahim Khalifah, al-Dakhil,
Jilid I, hlm 15
[21]
Ibid, hlm 2
[22]
Al-Dakhil, hlm 15
[23]
Ibrahim Khalifah, al-Dakhil, Jilid I, hlm 10
[24]
Syakir, al-Ba’its al-Hadits, hlm 46
[25]
Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar, Ahmad bin Ali, Fath al-Bari bi Syarh Shahih
al-Bukhari, Jilid VIII:334
[26]
Ibnu Hajar, Fath al-Bari, Jilid VIII:335
[27]
Ibrahim Khilafah, al-Dakhil, jilid I:10
[28]
Ibrahim Khilafah, al-Dakhil, jilid I:14
[29]
Ibid,
[30]
Ibid,
[31]
Al-Syatibi, jilid II:79-80
[32]
Al-Dzahabi, jilid I:481
[33]ibn Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir,
jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H/ 1986 M), hal. 5.
[34]Muhammad Hasbi Ash-Shiddiedy, Sejarah & Pengantar
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Cet.3 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000),
hal.212.
[35]5Al-Qaradhawi,
Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, cet.
2 ( Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal. 500.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar